Sebuah
peristiwa di atas panggung sejarah dunia – dalam konteks apapun – selalu menghadirkan satu dan banyak hal bagi peristiwa yang akan
terjadi setelahnya. Dalam hal ini, berlaku pada perjalanan sebuah bangsa yang
sampai buku ini ditulis masih berada dalam cengkeraman kolonialisme bercorak
ethnic cleansing, yang dipraktekkan oleh Zionisme. Palestina.
sebuah
wilayah yang luasnya tidak seberapa dibanding luas wilayah Jawa Barat di
Indonesia itu, berulang kali menjadi poros perhatian utama dunia; bermula dari
zaman Ibrahim A.S, sampai kepada Musa A.S, kelahiran 'Isa A.S, pendudukan
Kekaisaran Romawi, Isar' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, saman kekhalifahan Umar
Al-Farouq r.a, Perang Salib, Khalifah Utsmaniyah, sampai Perang Dunia I dan II – mempunyai andil yang tidak sedikit terhadap dideklarasikannya
sebuah judenstaat di Palestina pada tahun 1948.
Zaman
silih berganti, juga kemajuan teknologi, namun hal tersebut tidak berpengaruh
banyak terhadap bangsa Palestina. Bahkan di abad XXI ini pun – sementara informasi dengan mudahnya diperoleh tanpa harus
menghamba kepada radio dan televisi – tidak ada perubahan berarti
terhadap keberadaan bangsa itu.
Perang
yang berlangsung dan terlewatkan, semata-mata bukanlah perang militer, politik,
ataupun agama saja. Ini adalah bab-bab kelam dari peperangan antara dua
kekuatan yang selalu berlawanan: Kebaikan melawan Keburukan (Kejahatan).
Hamas
dengan ideologi Islam yang dipegangnya, tidak berarti terlepas dari kesalahan.
Begitu juga pada kubu sebaliknya, Israel, tidak melulu bisa dikatakan
"membela diri". Kita sebagai bagian dari masyarakat dunia juga
mempunyai kesalahan yang telah membiarkan berkibarnya bendera Zionisme.
Semua
ini disadari benar oleh tokoh Satrio. Juga tokoh-tokoh yang bermunculan
kemudian. begitu kompleksnya permasalahan yang mendera Palestina, ternyata – mungkin saja – dapat diuraikan dan
diselesaikan dengan satu kata sederhana: kebersamaan.