Rabu, 04 Desember 2013

Fiat Lux (Jadilah Cahaya)



Kehidupan adalah sebuah proses. Seperti sebuah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Bisa juga, dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain. Karena kehidupan itu sendiri adalah sebuah pergerakan, sebuah rotasi, sebuah siklus. Sebuah amalan nyata. Sebuah bentuk aktivitas, yang terkadang mengandung suatu arti dan pembelajaran bagi kehidupan lainnya.

Manusia adalah makro-kosmos, sekaligus mikro-kosmos; gabungan dari sesuatu yang kecil yaitu sel, di sisi lain juga merupakan bagian kecil dari alam semesta. Dan bahwa setiap tindakan dan perbuatan itu memiliki pengaruh yang memberikan dampak bagi hal lain di sekitarnya.

Beberapa kehidupan ada yang terus “hidup” dalam tradisi turun-temurun, diwariskan menjadi sebuah cerita pengantar tidur, atau bahkan terawetkan dalam kisah dan literatur. Seluruh aspek yang berada di dalam kehidupan merupakan bagian dari sejarah. Entah itu berupa satu fragmen kecil dari sebuah kehidupan seseorang, namun dengan makna yang sangat mencerahkan. Atau, tentang sebuah peristiwa, yang disoroti oleh zamannya. Dan perjalanan waktu yang dirangkum dan dikisahkan kembali kepada generasi selanjutnya tersebut, yang membentuk akar pohon kebudayaan dan peradaban manusia di zaman sesudahnya.

Sebagian fase dari perjalanan hidup dari seorang pencari kebenaran, yang akhirnya memaklumatkan kemartiran dirinya di jalan yang dia pilih: meneriakkan "tuntutan" hak lingkungan hidup.

Itulah yang coba saya tekankan dalam naskah saya kali ini. Keselarasan antara manusia yang mendapatkan karakteristik budayanya lewat perantara alam, lambat laun memudar karena laju perdaban yang dibangunnya. Ada memang, mereka-mereka yang meneriakkan penderitaan alam agar manusia lainnya mengerti dan mendengarkan. Namun, mereka yang meneriakkan dan mengajak serta melakukan usaha pelestarian alam dan lingkungan hidup lebih sedikit jumlahnya dari mereka yang tidak atau belum bergerak untuk memulai usaha tersebut.

Ini ikhtiar saya dalam memberi pengertian akan urgensi pelestarian alam. Dibanding memperhatikan langit, dahulukan keberadaan dan keberlangsungan alam yang kita pijak. Atau, kita harus mendeteksi kehidupan di luar sana dengan sia-sia, baru kita mengerti dan paham akan rancangan dan kehendak Tuhan di bumi?

Fiat Lux. Saya memberi judulnya demikian. Berarti, jadilah cahaya. Saya membebaskan anda mengartikannya dalam berbagai cara, meskipun itu secara harfiah. Karena, bagaimana jika saya mengatakan manusia bisa bercahaya seperti matahari? Atau, dalam metafora seperti pencerahan.

Karena kita, manusia, memiliki apa yang tidak dimiliki makhluk-Nya yang lain. Akal dan pikiran. Itulah sumber cahaya kita. Jika bintang memerlukan tahap pemampatan gas, maka manusia membutuhkan proses belajar. Dan lewat ilmu yang didapatnya, manusia dapat mencerahkan manusia lainnya untuk bercahaya.

Fiat Lux. Jadilah Cahaya. Bisa diunduh di sini.

Jumat, 19 Juli 2013

Bagi Masa Depan


Kadang kita terperangkap oleh impian kita dan merasa terbebani karenanya. Mengapa? Untuk sebagian orang yang menyadarinya, memang begitulah proses untuk menjadi besar. Masa tersebut ada, untuk kita berhenti sejenak dan mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan untuk mendekat kepada impian, dan mengetahui berapa persen yang tinggal dan menjadi mission objectives yang harus kita selesaikan.
Seorang besar dan seorang dengan gangguan kejiwaan memiliki perbedaan yang sangat tipis. Yang menjadi pemisah di antara kedua tipe tersebut adalah impian, sedangkan faktor yang membuat kedua sama adalah kenekatan. Pengalaman hidup yang secara pasti masuk ke dalam Bab “Masa Lalu” adalah cermin bagi kita di masa ini untuk bersiap menyambut “Masa Depan”. Tentukan sekarang, pelajari hari kemarin, lalu melangkahlah ke depan. Seorang tokoh besar bukan mereka yang mendekam dalam diam dan menanti keajaiban turun dari langit tanpa melakukan apa pun. Seandainya pun nanti langit akan menurunkan keajaiban untuk dirinya, ia mungkin tidak akan mengenalinya.
Faktor kenekatan berbanding lurus dengan idealisme seseorang. Besarnya impian harus disertai dengan kerasnya kemauan untuk meraih impian tersebut. Di fase “meraih” inilah, orang akan mulai menganggap kita gila.
Bukan seorang pejuang namanya, apabila masih ada keraguan dan ketakutan untuk menerjang segala keterbatasan. Kemungkinan-kemungkinan dan segala bentuk perkiraan hanyalah pembentuk keragu-raguan, yang menghalangi perjuangan kita. Maka, dengarkanlah hati, mintalah nasehat dari otak kanan. Imajinasi bisa terwujud menjadi ada, dan tidak ada kerugian untuk mengejarnya.
Katakanlah, hasil yang akan kita dapatkan nantinya adalah kegagalan. Setidaknya, kita tidak mati dibuatnya. Jadi, dengan umur dan waktu yang tersisa pada kita nantinya, dapat kita gunakan untuk mengejarnya kembali. Yang patut diingat, perjuangan tidak mengenal kata berhenti sebelum nyawa berpisah dari badan dan pergi meninggalkan kehidupan.
Tidak ada yang mengajari burung untuk terbang. Dan tentu saja kalian boleh mengatakan kepadanya, “burung itu sudah gila!” tetapi nyata sekali, kalian tidak mempedulikannya, bukan? Namun setelah burung tersebut tumbuh besar setelah tinggal di dalam sarang induknya selama beberapa waktu, ia belajar untuk terbang dan mencoba melakukannya sendiri. Dan, seperti yang kalian semua tahu, burung itu akhirnya terbang!
Memang tidak semua anak burung selamat dalam periode/fase ini. Di sanalah letaknya law of nature. Hukum tersebut melakukan seleksi dengan caranya sendiri, dan berlaku tidak hanya terhadap burung-burung saja. Bahkan manusia, terlepas ia berperilaku baik ataupun buruk.
Jalan hidup adalah apa yang kita pilih untuk kita jalani, berdasarkan impian yang kita bentuk. Dan setelah kita memutuskan sesuatu menjadi impian dan menerimanya, fokuskan diri kita dan jadikan impian tersebut sebagai target. Tentukan masa depan kita, jalani, dan biarkan Tuhan yang memutuskan hasilnya untuk kita. Dia Hakim Yang Maha Adil, jadi tenang saja.
Tentu saja ini adalah sebuah coretan yang tertuang dari sebuah paradigma “Nothing is Impossible, Impossible is Nothing.” Jika kalian mempercayai tulisan ini, jangan semuanya. Pikirkanlah kembali. Hidup anda adalah milik anda yang paling berharga. Karena tidak ada kesempatan untuk menekan tombol Ctrl+Z untuk melakukan “undo”. Jadi renungkanlah baik-baik terlebih dulu.
Karena manusia adalah suatu bentuk mikrokosmik di alam semesta ini, maka wewenang yang menentukan ke mana langkah kaki berakhir adalah si pemilik kaki itu sendiri. Ada beban vertikal dan horizontal yang menyertainya. Terima saja. Itulah resikonya menjadi seorang manusia.
Beban horizontal agaknya lebih berat untuk ditunaikan ketimbang beban vertikal. Meskipun keduanya dipengaruhi oleh tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu yang sama, beban horizontal adalah penitikberatan dari fungsi penciptaan manusia. Dalam istilah ilmu pengetahuan, hal tersebut dinamakan sebagai hidup dalam lingkungan sosial kemasyarakatan.
Dunia tidak mengubah anda untuk mengubahnya. Tapi, dengan berbagai cara, dunia akan berusaha agar kita lupa terhadap tujuan kita melangkah. Menjadi proporsional adala kuncinya, didampingi oleh semangat etos kerja yang tinggi. Salah satu yang menjadi halangan yang diberikan dunia kepada kita adalah rasa kehilangan. Perasaan ini berhasil membuat manusia menghentikan langkah, dalam mencapai tujuannya. Apabila rasa kehilangan itu muncul dan mulai menguasai kita, maka yang timbul adalah penderitaan. Merana dan menderita karena kehilangan.
Setiap manusia merasakan hal tersebut. Dan hanya orang-orang yang menjadi besar yang mampu melewati fase ini. Seorang penyair bernama Ranier Maria Rilke mengatakan, “Milik kita adalah kehilangan kita. Makin murni dan berani kita kehilangan, makin kita memiliki.”
Masalah yang timbul bukan semestinya dihalangi. Biarkan saja mengalir, karena membendungnya hanya menahannya untuk pergi dari kita. Pelajari alirannya. Anda tahu ikan salmon? Mereka berenang melawan arus menuju hulu sungai untuk bereproduksi setiap musim kawin tiba. Padahal, mereka sudah begitu terbiasa dengan kehidupan di air laut. Namun apa yang terjadi? Mereka tetap saja berangkat menuju tempat mereka menetas dulu
kala, mengarungi perjalanan di air sungai yang tawar menuju hulu. Memang, setelah sampai di tujuan dan bereproduksi, mereka akhirnya mati dan menjadi santapan penghuni hutan. Yang patut kita ingat adalah, matinya mereka memberi arti.
Ingat, cobaan atau masalah yang datang pasti tidak akan melebihi kapasitas maksimal yang kita miliki. Rasa ketidaksanggupan saat menghadapi cobaan atau masalah, itu pun proses yang amat manusiawi. Jadikan masa-masa tersebut sebagai catatan penting bagi perjalanan selanjutnya, dan jangan pernah berhenti melangkah.
Ungkapkan setiap gagasan yang kita miliki. Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, otak untuk berpikir, mulut unutk mengungkapkan hasil dari proses berpikir, kaki untuk mengejar apa yang diucapkan oleh mulut, dan tangan untuk meraih apa yang dikejar oleh kaki.
Kembali ke ikan salmon. Mereka tidak serta merta menerjang arus. Mereka mempelajari aliran sungai yang mereka lalui. Kalau saja generasi salmon masa kini sudah tidak mau mengambil resiko dan memilih untuk hidup tenang dan nyaman di laut, niscaya tidak akan ada lagi ikan salmon di masa depan.

Sabtu, 29 Juni 2013

White Light in Gaza (Sebuah Novel)


 “Pada akhirnya, kita akan menemui kematian. Entah di atas ranjang atau di medan juang. Dan, aku tidak pernah mengharapkan hidupku berakhir di atas pembaringan.”

***

Gaza kembali bergolak! Gempuran misil menghujani Gaza bertubi-tubi. Para Zionis semakin kuat menancapkan taringnya di bumi Gaza. Membuat rakyat Gaza-mau tak mau-harus mengungsi ke tempat yang aman.

Sementara itu, ribuan kilometer dari Gaza, seorang pemuda tengah berusaha mewujudkan mimpinya untuk pergi ke Palestina. Dialah Satrio! Pemuda Indonesia yang memiliki semangat membara untuk berjihad di Gaza. Dan, pelan tapi pasti, mimpi itu terwujud. Ia benar-benar menginjakkan kakinya di bumi Gaza.

Mampukah Satrio bertahan di negeri impiannya, sementara misil-misil Israel terus menggempur dan sebuah konspirasi menjadi ancaman?
Simak perjuangan Satrio dalam novel menggetarkan hati yang sarat nilai-nilai kemanusiaan, pengorbanan, dan cinta ini. Sangat inspiratif dan menohok kesadaran jiwa bahwa pengorbanan sekecil atau sebesar apa pun harus dilandasi ketulusan.
Selamat membaca!

***

 Begitulah bunyi dari sinopsis dari buku White Light in Gaza (yang naskahnya saya beri judul Negara Penjara Terbuka) yang baru saja "lahir" dan ikut meramaikan pasar buku tanah air. Namanya juga penerbit, pasti punya editornya sendiri, yang menguasai betul seluk-beluk kata dan frase sehingga mampu menarik perhatian para penggila buku untuk membacanya.

Ada yang aneh bagi saya saat pertama kali melihat sampul depan novel ini, yaitu tulisan "Cinta selalu lebih berani dari kematian" yang terdapat di baris bawah dari judul buku. Padahal, seingat saya, dalam naskah sebelumnya tidak tercantumkan kisah percintaan (kalau saja bagian yang saya tulis dapat didefinisikan sebagai kisah percintaan). Akan tetapi, setelah saya telaah lebih lanjut, ternyata memang ada sebuah kisah cinta di dalamnya, dan oleh karena itulah mengapa saya merasakan (pada akhirnya), bahwa penyematan kalimat tadi di bawah judul adalah suatu hal yang pantas. Novel saya, bercerita tentang cinta.

Cinta yang saya kupas di dalam novel tersebut, pengertiannya bukanlah sebagaimana pengertian cinta yang terjadi di antara dua individu berlainan jenis. Cinta yang selalu tampak di setiap bagian dari cerita di dalamnya, adalah cinta yang bermakna lebih luas lagi dari itu, dinamis, dan kompleks; sebuah pengikat yang menyatukan seorang manusia yang merdeka di tanah airnya yang merdeka dengan manusia lainnya yang berada dalam masyarakat yang teramat jauh secara geografis dan kultur, yang selalu meneriakkan kata-kata permintaan tolong yang sunyi ke segenap penjuru dunia; sebuah hubungan yang mempertemukan arti kemanusiaan dengan kehidupan nyata, menembus tabir-tabir liputan berita yang disiarkan pagi dan petang; yang mempertemukan seorang pemimpi dengan impiannya; pendongkrak sensitivitas nurani dan akal sehat yang tampak terlalu skeptis terhadap suara hati.

Itulah cinta yang terlihat dan diangkat ke permukaan oleh novel ini, yang tentu saja, menemukan jalannya untuk tersampaikan berkat tangan-tangan yang berada di balik layar (atau meja untuk lebih tepatnya). Terima kasih, tim editor.

Semoga saja, ada manfaat yang didapat dari buku ini. Dan semoga, semakin meningkatkan kesadaran kita semua, bahwa ternyata, kehidupan hanyalah sebuah skenario yang telah setiap fasenya telah ditetapkan, dan kenyataan dapat lebih terang bahkan lebih gelap dibandingkan dengan apa yang disiarkan.

Info selengkapnya bisa di dapat di sini.
* Picture and Synopsis Courtesy by Diva Press.