Kamis, 31 Maret 2011

Resolusi 2011: Revolusi

Written By Tomy Purnomo Sidi

Sebuah pergerakan sedang merayap pelan dan pasti, di mulai dari kawasan sebelah selatan Mediterania. Tunisia. Negara yang berada di antara Aljazair dan Libya, di sebelah utara benua Afrika ini, telah menggulingkan sebuah rezim yang telah berkuasa lebih dari 23 tahun. Ini adalah sebuah riwayat politik dan sejarah baru untuk negara ini, setelah pada masa pemerintahan sebelumnya diturunkan melalui kudeta. Perjalanan panjang Tunisia dimulai dari masa pendudukan setelah invasi militer yang dilancarkan Perancis pada tahun 1881. Perjuangan dan perlawanan, ditambah Perang Dunia II, membuat Perancis kemudian memberikan kemerdekaan kepada Tunisia pada tanggal 20 Maret 1956. Selanjutnya, diangkatlah Habib Bourguiba (3 Agustus 1903 – 6 April 2000), pemimpin partai Neo-Destour yang juga mengetuai delegasi Tunisia dalam perundingan ‘kemerdekaan’ di Paris yang berlangsung sebulan sebelumnya, sebagai presiden Tunisia yang pertama.

Karir politik Bourguiba dimulai  saat ia bergabung menjadi anggota komite eksekutif sebuah partai politik Tunisia, Partai Destour. Ketidakpuasaannya kepada ideologi partainya yang menganut paham netral, membuatnya memutuskan untuk mendirikan partainya sendiri, Partai Neo-Destour. Lewat partai barunya ini, ia melancarkan aksi politik yang lebih tegas, dengan agendanya yang jelas: kemerdekaan Tunisia. Alhasil, pemerintah kolonial Perancis melarang partai ini, karena kerap kali memimpin perlawanan kaum buruh dan rakyat sipil untuk berunjuk rasa.

Karena kegiatan politiknya ini, Bourgouiba beberapa kali dijebloskan ke penjara. Tanggal 18 Januari 1952, ia kembali ditangkap karena kampanyenya yang menyerukan perlawanan untuk kemerdekaan dan kebebasan, bersama dengan pemimpin partai Neo-Destour lainnya ditangkap sehingga menimbulkan unjuk rasa dan kerusuhan di seluruh pelosok Tunisia. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1955, menjadi angin segar bagi Tunisia untuk mendapatkan kemerdekaan. Perjanjian pembentukan pemerintahan otonomi dengan pemerintahan kolonial Perancis menjadi satu langkah besar sebagai awal untuk mendapatkan kemerdekaan secara total.

Pada akhirnya, 20 Maret 1956, Tunisia memproklamirkan kemerdekaan sepenuhnya dari kolonial Perancis, dengan Bourguiba sebagai presiden pertama dari “Majelis Konstitusi Nasional” dan kepala pemerintahan. Ia juga sekaligus menjabat sebagai Menteri Luar negeri Tunisia. Kemudian pada 25 Juli 1957, Tunisia meproklamirkan diri sebagai sebuah negara republik dan mengganti sistem monarki yang dianut sebelumnya. Hal ini mengantarkan Bourguiba menjadi Presiden Republik Tunisia.

Dalam masa pemerintahannya, Bourguiba menerapkan politik reformasi seperti halnya Mustafa Kemal Attaturk di  Turki. Agendanya adalah Tunisia yang sekuler. Emansipasi wanita, keluarga berencana, pendidikan, modernisasi, dan lain sebagainya. Ia adalah seorang reformis sekuler tulen. Di berbagai kesempatan, bahkan ia dengan berani dan terang-terangan menyerang fundamental Islam yang telah mengakar di Tunisia. Bahasa Arab digantinya dengan bahasa Perancis sebagai bahasa pergaulan. Mahkamah Syari’at pun diganti dengan mahkamah Sipil, agar hukum dan perundang-undangan di Tunisia dapat mengadopsi undang-undang barat  sepenuhnya. Sekolah maupun madrasah yang berbau Islam ditutup. Bahkan Universitas Az-Zaytunah tak luput dari agendanya itu. Universitas yang menjadi pusat pendidikan Islam di Eropa dan Afrika ini pun ditutup pula oleh Bourguiba. Selain itu, demi mendapatkan dukungan Barat atas rezimnya pada masa Perang Dingin, ia membuat peraturan-peratutan seperti pelarangan poligami, memberi hak cerai kepada wanita, dan memutuskan batas usia seorang wanita boleh dikawinkan menjadi 17 tahun. Jilbab (hijab) dilarang penggunaannya di depan umum dan diundang-undangkan.

Kampanye anti Islam yang dilancarkannya ini, mencapai puncaknya pada tahun 1974. Dengan sebuah pernyataannya, ia menyeru rakyat Tunisia agar meninggalkan kewajiban puasa Ramadlan. Ia menganggap, ibadah ini menghambat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Ia juga membagi-bagikan susu kepada para pegawai dan mahasiswa di bulan tersebut dengan alasan menjaga kesehatan. Bagi mereka yang menolak hadiahnya itu, maka nama mereka akan dicantumkan dalam daftar hitam. Dalam usahanya melemahkan institusi Islam Tunisia, ia merencanakan UU yang bertujuan merampas harta wakaf di seluruh Tunisia. Organisasi berlandaskan Islam dibatasi pergerakannya. Sepertinya, Bourguiba terlalu gandrung dengan pola pikir Perancis yang mengutamakan humanisme dan sekularisme. Meski begitu, Parlemen Tunisia memutuskan mengangkat Bourguiba menjadi presiden seumur hidup pada tahun 1975. Program liberalisasinya dimulai pada tahun 1981 menyusul berhentinya Perdana Menteri konservatif Hédi Nouira.

Riwayat perjalanan pemerintahan yang dipegangnya harus berhenti pada tanggal 7 November 1987 atas kudeta yang dilancarkan oleh perdana menterinya sendiri, Zainal Abidin Ben Ali. Bourguiba dinyatakan terlalu lanjut usia untuk menjalankan pemerintahan, dengan alasan kesehatan. Bourguiba selanjutnya dikenakan tahanan rumah hingga kematiannya tanggal 6 April 2000 di Monastir, 165 km dari ibukota Tunisia, Tunis. Ia dimakamkan tanggal 8 April 2000 di sebuah mausoleum di Monastir.

Ben Ali, yang baru menjabat posisi perdana menteri Oktober 1987 ini, meneruskan jalannya pemerintahan Republik Tunisia sebagai presiden. Karirnya dimulai sebagai seorang militan muda dari Partai Neo-Destour. Ia dikirim ke Perancis untuk menjalani pelatihan militer di sana selama beberapa waktu lamanya di  Special Inter-service School di Saint-Cyr, dan di Artillery School yang berada di daerah Châlons-sur-Marne. Setelah lulus, ia pergi dari Perancis untuk melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat. Di sana, ia mengenyam pendidikan militernya di Senior Intelligence School, Maryland dan di School for Anti-Aircraft Field Artillery, Texas.

Karir militer profesionalnya dimulai tahun 1964 saat  ia ditunjuk untuk mendirikan dan mengatur Departemen Kemanan Militer di negerinya. Ia menjalankan tugasnya di sana selama 10 tahun. 1977, ia diangkat menjadi Direktur Jenderal Keamanan Nasional setelah sebelumnya menjabat posisi Atase Militer untuk Maroko dan Spanyol. Tiga tahun setelah itu, ia diutus menjadi Duta Besar Tunisia untuk Polandia dan menjabat posisi tersebut selama empat tahun. Sekembalinya dari mengemban tugas negara di negeri eropa itu, ia diangkat menjadi Kepala Keamanan Nasional setingkat dengan Menteri. Gerakan Islam radikal sedang berkembang di Tunisia saat ia  menjabat posisi tersebut. Ini adalah bentuk reaksi dari masyarakat Islam Tunisia atas kebijakan presiden mereka saat itu, Habib Bourguiba.

Ben Ali kemudian diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada tanggal 28 April 1986. Dan pada tanggal 1 Oktober 1987 sampai 7 November di tahun yang sama, ia menjabat posisi Perdana Menteri. Pada tanggal tersebut, ia memecat Presiden Bourguiba dengan alasan kinerja yang memburuk akibat kondisi kesehatan Bourguiba yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk menjabat posisi presiden. Pernyataannya ini, didukung oleh tujuh orang doktor yang menandatangani pernyataan ketidakcakapan Bourguiba dalam memerintah.

Maka, sesuai Pasal 57 Konstitusi Tunisia, terjadilah transisi pemerintahan. Ia pun meneruskan jalannya pemerintahan dengan sistem sekuler yang sama dengan pendahulunya, dengan warisan inflasi 10%, tingkat pengangguran yang tinggi, dan permasalahan ekonomi dalam negeri. Namun begitu, tekanan demi tekanan terhadap agama terus diupayakan. Kumandang azan, menggunakan atribut keagamaan seperti jilbab atau pun tasbih, bahkan shalat berjama’ah menjadi hal-hal yang melanggar hukum. Pada masa pemerintahannya  ini pula, gerakan-gerakan Islam di Tunisia mengalami nasib yang lebih tragis dari sebelumnya. Lebih dari 30.000 aktivis gerakan Islam dijebloskan ke penjara dan dianggap sebagai “pembangkang” . Pemahamannya yang dangkal akan agama, khususnya Islam, dan pola pikir yang terbentuk sejak rezim sebelumnya yang mewarisi budaya Perancis membuatnya beranggapan bahwa agama adalah hal yang menghambat pertumbuhan perekonomian dan perkembangan negara. Rezim Ben Ali juga melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia, seperti halnya yang dialami oleh Taoufik Ben Brik, jurnalis, yang dipenjarakan karena mengkritik Ben Ali.

Ia mengumumkan pluralisme politiknya tahun 1992. Meski begitu, Rapat Umum Konsitusional Demokratiknya (dahulu Partai Neo-Destour) menyatakan melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya masih tidak membiarkan begitu saja pergerakan oposisi dan kebebasan pers. Tahun 1994 adalah kali pertama Tunisia menyelenggarakan pemilihan legislatif yang pluralis. Sementara Partai Oposisi mendapatkan 2,25% suara dengan jatah 19 dari 163 kursi di Parlemen, Ben Ali sebagai kandidat presiden tunggal, terpilih kembali dengan perolehan suara 95% dari total pemilih. Ia terpilih kembali pada pemilihan tahun 1999 dengan perolehan suara mencapai 99,66%; mengalahkan dua kandidat alternatif yang tidak dikenal, yang untuk pertama kalinya diizinkan berada dalam pemilihan presiden. Tahun 2002, sebuah referendum konstitusi menghasilkan dua buah keputusan; yang salah satunya merupakan keputusan untuk merubah batas atas usia yang diperbolehkan untuk menyalonkan diri sebagai presiden, yang sebelumnya 70 tahun menjadi 75 tahun.

Ia pernah mencoba untuk bersikap lunak terhadap rakyat dan partai Islam. Oleh karena itu, setelah berkuasa ia membebaskan para aktivis Islam yang ditahan dan membolehkan mereka ikut dalam pemilu tahun 1989. Namun hasil pemilu tahun itu membuat rakyat tercengang serta membuat Ben Ali dan pendukung sekularisme khawatir. Adalah Partai Al Nahdhah, atau dikenal juga sebagai Al Ittijah Al Islamiyah, menempati posisi kedua partai terbesar di Tunisia. Partai Islam terbesar di Tunisia ini membuat Ben Ali merubah pendiriannya dan kembali beralih kepada sekularisme seperti sebelumnya.

Pada pemilihan yang dilakukan tahun 2009, Ben Ali kembali terpilih menjadi presiden dengan memperoleh 89% suara. Menanggapi hasil pemilihan yang membuat Ben Ali kembali menjabat presiden kesekian kalinya itu, Uni Afrika mengirimkan timnya untuk menyelidiki dan memantau hasil pemilihan tersebut. Delegasi yang dipimpin oleh Benjamin Bounkoulou ini, menyatakan pemilihan tersebut “bebas dan adil” . Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengindikasikan bahwa Tunisia memberikan izin badan internasional seperti Uni Afrika untuk mengirimkan tim pengawasnya ke sana. Meski begitu, Amerika Serikat tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah Tunisia.

Organisasi-organisasi internasional hak asasi manusia seperti Amnesty International, Freedom House, dan Protection International menilai rezim Ben Ali otoriter dan tidak demokratis dalam kinerjanya. Mereka mengkritik pemerintah Tunisia yang tidak menerapkan standar internasional tentang hak asasi berpolitik dan telalu mengekang organisasi lokal hak asasi manusia yang ada. Dalam indeks demokrasi yang dimuat oleh majalah The Economist tahun 2010, Tunisia menempati urutan ke 144 dari 167 negara, menjadikan rezimnya sebagai rezim yang otoriter. Di tahun 2008, dalam hal kebebasan pers, Tunisia menempati peringkat 143 dari 173 negara.

Rakyat yang tertindas akhirnya bersuara. Kobar semangat perubahan menyulut perasaan dari segenap hati yang telah jenuh akan pemerintahan yang otoriter dan pemimpin yang diktator. Inilah saatnya. Revolusi. Suara-suara yang berkumandang menyiarkan keluh kesah, spanduk-spanduk yang terbentang bertuliskan harapan, bendera kebangsaan simbol nasionalisme yang berkibaran; semuanya bergabung bersama jutaan jiwa yang menjadi saksi tirani yang membatasi mereka. Lalu denyut perubahan pun dimulailah. Dimulai dari jalan raya, disiarkan oleh berbagai media, sampai ke seluruh penjuru dunia. Dan sebuah revolusi kembali mengubah wajah Tunisia dalam pentas politik dunia. Ben Ali pun terusir dari tahta tiraninya.

Di sebuah daerah yang termasuk kawasan Propinsi Sidi bouzid , Jum’at, 17 Desember 2010. Siang hari selepas shalat Jum’at, terjadilah sebuah aksi yang memicu ledakan revolusi Tunisia. Kota wisata yang berada di sebelah selatan ibukota Tunis, 265 kilometer jauhnya inilah, tempat di mana Tarek Al-Tayyib Muhammad Bouazizi, atau lebih dikenal dengan nama Mohamed Bouazizi, melakukan aksi membakar diri sebagai bentuk kekecewaannya terhadap perlakuan anggota polisi yang ia terima di hari sebelumnya, yang menyita gerobak sayurnya berikut dagangannya. Maka dengan perasaan yang frustasi dan kecewa terhadap kenyataan yang ia terima, pergilah ia ke depan kantor pemerintahan daerah kota Sidi Bouzaid selepas shalat Jum’at untuk melakukan aksinya. Membakar diri. Hal inilah yang membuat Tunisia bergolak. Hari-hari berikutnya, gelombang protes dan tuntutan rakyat agar Ben Ali turun dari kekuasaan semakin menjadi dan menyebar ke seluruh pelosok negeri tersebut. Keadaan Bouazizi sendiri tidak cukup baik. Ia pun meninggal setelah dirawat selama lebih dari dua pekan akibat luka bakar serius yang dialaminya. Ben Ali sebagai presiden yang berkuasa, yang sedang menghadapi histeria rakyat berusaha menunjukkan rasa simpatinya terhadap orang yang mengawali akhir dari kejayaannya di Tunisia. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh banyak kepada revolusi yang sedang membara. Demonstrasi dan aksi protes digelar di jalan-jalan kota, seperti yang terjadi di jalan Habib Bourguiba, Tunis.

Menanggapi situasi yang terjadi, Ben Ali pun menjawab. Tak terhitung banyaknya bentrokan yang terjadi untuk meredam revolusi ini. Puluhan nyawa melayang, kekerasan militer terhadap demonstran anti Ben Ali terus dilakukan. Namun rakyat tidak bergeming. Mereka menginginkan perubahan. Pada akhirnya, Ben Ali membuat sebuah pernyataan. “Reformasi adalah jawaban bagi tuntutan kalian. Saya menyadari hal ini dan sangat menderita,” ungkapnya. Agaknya hal tersebut tidak merubah apapun. Rakyat hanya ingin Ben Ali mundur dari kekuasaannya.

Ben Ali kemudian membentuk sebuah pemerintahan darurat, dan pada tanggal 14 januari 2011 membubarkan pemerintahannya serta berjanji untuk mengadakan sebuah pemilihan legislatif yang baru dalam waktu 6 bulan. Bagaimanapun, revolusi telah bergerak demikian cepatnya dan kelihatannya angkatan bersenjata dan para anggota legislatif banyak yang kehilangan kepercayaannya kepada Ben Ali. Dengan sisa kekuasaan yang ia peroleh, ia mengangkat Perdana Menteri Mohammed Ghannouchi sebagai pimpinan pemerintahan sementara, menggantikan dirinya yang mengundurkan diri dari kepresidenan pada pukul empat sore di hari yang sama.

Ben Ali yang ketakutan dan mengkhawatikan keselamatan dirinya karena mengetahui angkatan bersenjata yang memihak rakyat telah menguasai sekitaran kediaman kepresidenan di Tunis, memutuskan untuk melarikan diri ke Malta dengan segera menggunakan empat helikopter bersama anggota keluarganya. Sementara itu, mereka yang mendukung Ben Ali merasakan ketakutan yang sama dan mencoba untuk melarikan diri melalui Bandar Udara Tunis-Chartage. Namun apa daya, militer yang berada di pihak revolusi telah menguasainya dan mencegah usaha mereka. Dari Malta, Ben Ali awalnya memutuskan untuk melanjutkan usaha melarikan dirinya tersebut ke Perancis. Namun, pihak otoritas Perancis tidak memberikan izin mendarat kepadanya. Surat kabar Perancis, Le Monde, mengabarkan bahwa ada beberapa anggota keluarganya yang berhasil mendarat di Paris. Tampaknya, Ben Ali terpaksa untuk mempertimbangkan kembali tujuan pendaratannya. Di tengah rumor yang berkembang perihal ke mana ia akan mendarat, ia akhirnya mendarat di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 15 Januari 2011 dan diterima dengan baik di sana oleh pemerintah setempat.

Pukul enam sore waktu setempat di hari Ben Ali melarikan diri dari Tunisia, Perdana menteri Mohammed Gannouchi tampil di siaran televisi dan berkata, “sejak presiden tidak dapat melanjutkan tugasnya, telah diputuskan bahwa perdana menteri akan melakukan tugas kepresidenan sementara.” Namun, pemerintahan sementara ini hanya berjalan beberapa saat saja karena pada hari berikutnya, Mahkamah Konstitusi Tunisia memutuskan bahwa Ben Ali bukan “tidak mampu sementara ini” untuk menyelesaikan tugasnya, dan menyatakan kekosongan jabatan pada posisi presiden. Pengangkatan perdana menteri untuk menggantikan dirinya di pemerintahan sebelum meninggalkan negeri adalah ilegal secara konstitusi berdasarkan Pasal 57. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi sebagai otoritas tertinggi dalam hal penyelesaian masalah konstitusional negara, mengumumkan sebuah transisi kepemerintahan di hari Sabtu 15 Januari itu. Mereka memutuskan mengangkat Fouad Mebazaa, Juru Bicara Parlemen, untuk mengisi jabatan presiden sementara. Mebazaa diambil sumpahnya di Parlemen, bersumpah untuk menghormati konstitusi di depan rekan sesama anggota, Abdallal Kallel beserta perwakilan dari Parlemen dan Mahkamah Konstitusi. Selain pengangkatan Mebazaa sebagai presiden sementara, diumumkan pula bahwa pemilihan umum akan diselenggarakan dalam waktu 45 sampai 60 hari ke depan.

Pada tanggal 26 Januari, pemerintah Tunisia mengeluarkan surat perintah penangkapan mantan presiden Zainal Abidin Ben Ali ke dunia internasional atas tuduhan membawa kabur uang negara ke luar negeri secara ilegal. Ben Ali juga dituduh atas kepemilikan properti dan berbagai asetnya secara tidak sah menurut hukum, seperti yang dikatakan Menteri Hukum Lazhar Karoui Chebbi. Harta kekayaan atas nama Ben Ali dan keluarganya akan dikembalikan kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka. Pemerintah Swiss mengumumkan bahwa ada jutaan dolar AS atas nama keluarga Ben Ali yang tersimpan di bank mereka.Dua hari kemudian, tepatnya 28 Januari 2011, Interpol mengeluarkan surat penangkapan atas Ben Ali dan enam anggota keluarganya, termasuk istrinya, Leila Trabelsi. Dilaporkan bahwa istri Ben Ali ini telah membawa serta 1,5 ton emas dari bank sentral saat ia dan keluarganya terbang ke Jeddah, Arab Saudi. Sementara keponakannya, Imed Trabelsi, telah lebih dulu ditahan saat gelombang protes berlangsung antara 2010-2011.

Tanggal 17 Februari 2011, dilaporkan bahwa Ben Ali dirawat di sebuah rumah sakit akibat stroke yang menyerangnya. Aljazeera melaporkan bahwa sebuah sumber dari Arab Saudi telah mengkonfirmasi bahwa Ben Ali memang dalam keadaan kritis akibat komplikasi stroke yang dideritanya. Namun, apakah perubahan hanya sampai di sini? Jalan Habib Bourguiba setiap harinya selalu dipenuhi oleh masyarakat yang menyampaikan suaranya agar didengar oleh pemerintah. Semoga saja peristiwa yang tengah berlangsung menjadi proses awal dari perbaikan dan kebaikan untuk Tunisia.

Perjalanan dari aliran revolusi yang dipenuhi semangat akan perubahan dan harapan itu, ternyata masih berlanjut dan mengarah ke tujuan selanjutnya. Mesir. Negara yang memiliki sejarah budaya yang panjang dan kaya akan ilmu pengetahuan yang masih tersimpan di bawah setiap butir pasirnya ini, menjadi negara kedua setelah Tunisia yang mendobrak tirani pemerintahan yang otoriter.

Mesir pun ikut mengalami efek dari gelombang revolusi yang merayap dari Tunisia. Dengan semangat yang sama, untuk mendobrak kekuasaan yang semena-mena. Rakyat Mesir, dengan beragam latar belakang, turun ke jalan dan bergabung dalam aliran yang menuntut turunnya presiden mereka, Hosni Mubarak. Ia pun harus rela melepaskan jabatan presiden yang ia pegang selama lebih kurang 15 tahun itu.

Setelah peristiwa pembunuhan Anwar Sadat (25 Desember 1918 – 6 Oktober 1981) yang merenggut nyawanya, jabatan presiden kemudian diisi olehnya. Sebelumnya, ia menjabat sebagai wakil presiden tahun 1975. Ia pun kemudian dilantik menjadi presiden Mesir pada tanggal 14 Oktober 1981. Ia adalah presiden yang memimpin Mesir terlama semenjak masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha (4 Maret 1769 – 2 Agustus 1849).

Hosni Mubarak terlahir dengan nama Muhammad Hosni Said Mubarak, di sebuah daerah bernama Kafr-El Meselha, Al Monufiyah, pada tanggal 4 mei 1928. Perjalanan karir seorang Mubarak dimulai dari latar belakang militer. Ia mengenyam pendidikan Akademi Militer Mesir dan meraih gelar sarjana dalam Pengetahuan Militer pada tahun 1949. Ia meninggalkan Akademi Militer tanggal 2 Februari 1949, dan bergabung dengan Akademi Angkatan Udara. Ia memulai karirnya sebagai seorang pilot pada tanggal 13 Maret 1950. Di tahun yang sama, ia kembali meraih gelar sarjana dalam Pengetahuan Penerbangan. Sebagai seorang petugas di Angkatan Udara Mesir, ia telah mengabdi kepada negara dalam berbagai formasi terbang dan bagian, termasuk 2 tahun dalam unit Skuadron Tempur Spitfire.

Ia juga pernah menjadi seorang instruktur penerbangan pada periode 1952-1959. Dan dari Februari 1959 sampai dengan Juni 1961, Mubarak mengikuti pelatihan lanjutan di Sekolah Pelatihan Pilot di Moskow, Uni Soviet, dan sekolah penerbangan lain di Pangkalan Udara Kant, dekat Bishkek di Kyrgyzstan. Di sana, Mubarak mendapat pelatihan pesawat jet pembom Ilyushin II-28 dan Tupolev Tu-16 dan kemudian bergabung dengan Akademi Militer Frunze tahun 1964.

Ia kembali ke Mesir dan diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Barat Kairo pada bulan Oktober 1966 sebelum akhirnya menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Beni Suef. November 1967, ia kemudian menjabat sebagai Direktur Akademi Angkatan Udara Mesir. Dua tahun kemudian, ia mengisi jabatan Kepala Staf Angkatan Udara Mesir. Tahun 1972, ia menjabat sebagai Panglima Angkatan Udara sekaligus sebagai Wakil Menteri Pertahanan Mesir. Pada tahun berikutnya, karir militernya mencapai puncaknya saat ia dipromosikan sebagai Marsekal Udara atas jasanya dalam Perang Oktober tahun 1973. Ia banyak mendapat sorotan dan publikasi di Mesir perihal kinerjanya pada perang melawan Israel tersebut.

Karirnya dalam Angkatan Udara Mesir di perang  1973 mendapat banyak tentangan dari banyak pihak, setahun setelah perang berlangsung. Salah satu dari mereka yang menentang Mubarak adalah seorang analis Mesir bernama Mohamed Hasanain Haikal, yang membuat hasil evaluasi yang berbeda perihal Angkatan Udara Mesir di perang 1973 dibanding Mubarak dan pendukungnya.

Dalam sebuah wawancara televisi tanggal 19 Februari 2011, Haikal beragumen bahwa Angkatan Udara memiliki fungsi psikologis yang amat besar yang mempengaruhi pasukan Mesir dalam perang tersebut, yang  membuat pasukan darat dapat melakukan penyeberangan Terusan Suez. Haikal menambahkan,  Angkatan Udara hanya memberikan jaminan psikologis terhadap pasukan yang ada di darat, layaknya payung udara, dan bukan menjadi kebutuhan militer Mesir seluruhnya. Peran Mubarak juga semakin diperdebatkan oleh Shahdan Elshazli, putri mantan Kepala Staf Militer Mesir Saad Eldin Elshazli. Dia menuduh Mubarak mengubah representasi dan melebih-lebihkan perannya dalam sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan Perang 1973. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar independen Mesir Almasry Alyoum (26 Februari 2011), Elshazli mengklaim bahwa Mubarak mengubah dokumen untuk mengambil keuntungan dari kesuksesan awal Mesir dalam perang tersebut, yang seharusnya adalah peran ayahnya, Saad Eldin Elshazli. Mubarak dituduh menghapus figur ayahnya dari foto-foto yang memperlihatkan suasana diskusi di ruang komando militer, dan menggantinya dengan dirinya. Ia menyatakan akan mengambil tindakan hukum atas perlakuan ini.

Mubarak kemudian dipromosikan sebagai Letnan Jendral pada tahun 1974, dan menjadi Wakil Presiden Mesir pada tahun 1975. Pada masa jabatannya sebagai wakil presiden ini, ia mendukung setiap kebijakan dari presidennya, Anwar Sadat. Ia juga ikut andil dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan hubungan Mesir-Israel kala itu. September 1975, sebagai bagian dukungannya terhadap kebijakan politik Sadat, ia melakukan lawatan ke Riyadh dan Damaskus untuk meyakinkan pemerintah Arab Saudi dan Syiria untuk menerima perjanjian pemisahan yang dibuat antara mereka dengan pemerintah Israel (Sinai II), namun Presiden Syria menolak pertemuan dengannya.

Anwar Sadat juga menugaskannya untuk melakukan beberapa pertemuan dengan pemimpin negara lain. Signifikansi politik Mubarak dapat terlihat lewat percakapan yang terjadi pada 23 Juni 1975 antara Menteri Luar Negeri Fahmy dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Mesir, Hermann Eilts. Fahmy mengatakan kepada Eilts, “Mubarak, setidaknya untuk saat ini, sepertinya lebih suka untuk menjadi peserta yang tidak begitu menonjol dalam setiap pertemuan sensitif”. Dan ia menyarankan kepada Eilts agar tidak memusuhi Mubarak, karena ia termasuk salah satu orang pilihan Sadat.

6 Oktober 1981, pada sebuah upacara yang diadakan di kairo untuk memperingati Hari Penyeberangan Terusan Suez yang dilakukan oleh pasukan Mesir tahun 1973 pada tanggal yang sama, presiden Anwar Sadat dibunuh oleh anggota dari suatu organisasi Islam radikal Mesir. Hal ini terjadi karena perjanjian damai antara Mesir dan Israel setelah Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel saat itu, Menachem Begin, meraih hadiah Nobel Perdamaian bersama. Perjanjian damai tersebut dinilai kontroversial oleh negara-negara Arab, khususnya Palestina. Keanggotaan Mesir dalam Liga Arab saat itu pun dihentikan. Pemimpin PLO, Yasser Arafat, mengatakan, “biarkan mereka menandatangani perjanjian apapun yang mereka suka, sesungguhnya kedamaian yang palsu akan segera berakhir.”

Pembunuhan tersebut terjadi saat sebuah truk yang mengangkut prajurit lewat di depan tribun tempat Anwar Sadat dan beberapa pejabat penting berada. Truk ini sesungguhnya berisi pasukan yang bermaksud melakukan pembunuhan, dipimpin oleh Letnan Khalid Islambouli. Saat truk semakin dekat, mereka pun berhamburan turun dari truk, dan Islambouli berlari mendekat ke arah Sadat. Sadat berdiri untuk bersiap menerima penghormatan yang dikiranya akan diberikan Islambouli kepadanya. Namun, Islambouli tidak memberikan penghormatan seperti apa yang dibayangkan oleh Sadat. Islambouli melemparkan tiga buah granat tangan, dan hanya salah satunya saja yang meledak. Selanjutnya, tim pembunuh pun berhamburan menyeruak mendekati tribun di mana Sadat berada. Mereka memberondongnya dengan senjata serbu mereka dengan membabi-buta. Setelah Sadat tertembak dan terjatuh, orang-orang melemparkan kursi ke sekeliling Sadat untuk melindunginya dari hujan peluru yang lebih banyak lagi. Anwar Sadat sekarat akibat peluru yang menembus leher dan ususnya.

Serangan terjadi selama sekitar dua menit. Sadat dan sebelas orang yang berada di sekitarnya tewas, termasuk Duta Besar Kuba, jendral Oman, dan seorang pendeta Koptik Ortodok. Dua puluh delapan orang terluka, termasuk Hosni Mubarak yang saat itu masih menjabat sebagai wakil presiden, Menteri Pertahanan Irlandia James Tully, dan empat delegasi militer Amerika Serikat. Petugas keamanan yang sempat terpaku menyaksikan peristiwa yang tidak terduga itu pun bereaksi dalam beberapa detik kemudian. Dua orang penyerang terbunuh dan yang lainnya berhasil diamankan oleh polisi militer yang ada di tempat kejadian. Anwar Sadat kemudian langsung dilarikan ke rumah sakit. Ia kemudian dioperasi dengan melibatkan sebelas orang dokter, namun nyawanya tidak terselamatkan. Anwar Sadat dimakamkan di sebuah pemakaman militer yang berada di Nasr City, Mesir.

Setelah kejadian di upacara peringatan tanggal 6 Oktober itu, huru-hara terjadi di kota Asyut, Mesir. Kaum pemberontak menguasai kota tersebut sampai beberapa hari, 68 petugas polisi dan tentara tewas dalam bentrokan. Pemerintahan sempat vakum sampai datangnya para pasukan dari Mesir yang datang dari udara menggunakan terjun payung. Sebagian besar militan yang terlibat pemberontakan dinyatakan bersalah dan menerima hukuman ringan, mendekam selama tiga tahun dipenjara. Sementara Islambouli dinyatakan bersalah, divonis hukuman mati dan dieksekusi pada tahun 1982.

Setelah tewasnya Anwar Sadat, posisi presiden Republik Arab Mesir otomatis diisi oleh Hosni Mubarak. Ia juga mendapat jabatan sebagai Ketua Partai Nasional Demokrat Mesir. Ia menjabat selama lebih dari 29 tahun dan menjadikannya sebagai presiden Mesir yang paling lama berkuasa.

Mesir sempat kehilangan status keanggotaannya dari Liga Arab setelah perjanjian damai yang ditandatangani oleh presidennya saat itu, Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel waktu itu, Menachem Begin, 26 Maret 1979. Tahun 1989, atau delapan tahun setelah terbunuhnya Anwar Sadat, Mesir mendapatkan kembali keanggotaannya dan kantor pusat Liga Arab pun kembali ke Kairo.

Mesir merupakan satu dari anggota koalisi dalam Perang Teluk tahun 1991, dan merupakan salah satu negara yang pertama sampai di Arab Saudi untuk mengusir pasukan invasi Irak dari Kuwait. Mesir ikut bergabung dalam koalisi untuk mendapatkan keringanan atau penghapusan hutang luar negeri mereka. Mengenai masalah pembiayaan pasukan yang mencapai 500.000 dolar Amerika per kepala, apakah telah dibayar lunas atau dihapuskan, sebuah laporan yang dimuat oleh The Economist, menyatakan: “Program kerjanya sangat mempesona, layaknya sebuah buku kasus, terang IMF. Dan keberuntungan berada di pihak Mubarak. Ketika Amerika Serikat sedang mencari aliansi militer untuk mengusir Irak dari Kuwait, Mesir lewat presidennya memutuskan untuk bergabung tanpa ragu-ragu. Setelah perang usai, imbalan untuknya adalah Amerika, negara-negara Arab di Teluk Persia, dan Uni Eropa menghapus hutang Mesir yang jumlahnya sebesar 14 triliun dolar Amerika.”

Mubarak kembali terpilih oleh suara mayoritas dalam sebuah referendum secara berturut-turut, tahun 1987, 1993, dan 1999. Referendum itu sendiri, dan validitasnya dipertanyakan. Tidak ada yang dapat menentang presiden karena pembatasan yang disahkan oleh Konstitusi Mesir di mana Majelis Perwakilan Rakyat memainkan peranan utama dalam pemilihan presiden.

Juli 2004, Mubarak mengabulkan permintaan pengunduran diri perdana menterinya saat itu, Atef Ebeid, dan juga sebagian besar dari anggota kabinetnya. Untuk mengisi posisi perdana menteri yang kosong,ia kemudian mengangkat Ahmed Nazif. Susunan kabinet yang baru agaknya terlihat lebih meyakinkan. Kondisi perekonomian terlihat jauh lebih baik setelah periode stagnan beberapa waktu sebelumnya. Kabinet baru yang dipimpin oleh Ahmed Nazif ini membuat beberapa keberhasilan dalam mengatasi perekonomian yang sempat terpuruk. Pasar saham Mesir mengalami peningkatan presentasi terbesar dalam tahun fiskal 2004/2005. Namun, angka pengangguran tidak mengalami penurunan dan Mubarak menerima kritikan karena telah memberikan keuntungan kepada perusahaan besar dan privatisasi yang berlawanan dengan hak pekerja. Semua ini adalah konsekuensi dari kebijakan privatisasi yang terlampau luas, penjualan saham sektor publik, dan nasionalisasi yang akan menginggalkan pemerintahan Nazif terpuruk dalam kebangkrutan.

Karena meningkatnya tekanan domestik dan internasional akan kebebasan demokrasi di Mesir, pada tanggal 26 Februari 2005, Mubarak meminta parlemen untuk mengamandemen peraturan menyangkut pemilihan presiden dan memungkinkan pemilihan multi calon untuk pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada bulan September. Sebelumnya, Mubarak mengamankan posisinya dengan dukungan parlemen, yang kemudian dinyatakan tanpa oposisi dalam referendum.

September 2005, pemilih pada pemungutan suara tersebut mendapat lebih dari satu kandidat, namun baik itu lembaga yang mengurusi masalah pemilihan dan aparat keamanan berada di bawah kendali presiden. Media resmi negara, termasuk tiga surat kabar dan televisi pemerintah menyatakan pandangan yang identik dengan Mubarak. Walau bagaimanapun, dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pertumbuhan yang stabil di arena publikasi independen Mesir, yang terkadang melemparkan sejumlah kritik terhadap presiden dan keluarganya. Saluran media seperti The Orbit Satellite Television dan Radio Network, misalnya, juga menunjukkan keterbukaan relatif terhadap kinerja pemerintah seperti dalam program Al Qahira Al Yaum. Namun, kabinet pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ahmed Nazif telah cukup berhasil dalam melakukan peningkatan dalam beberapa hal. Mesir berada pada posisi 111 dari 177 negara pada peringkat pengembangan sumber daya manusia, dengan indeks 0,702.

Pada 28 Juli 2005, Mubarak mengumumkan pencalonan kembali dirinya. Pemilihan yang dijadwalkan akan diselenggarakan pada tanggal 7 September 2005 itu, menurut organisasi-organisasi sipil pengawas pemilihan, melibatkan banyak kecurangan. Partai yang mengusung Mubarak menggunakan pemerintah sebagai alat untuk mengambil suara dari para pegawainya. Di daerah-daerah miskin dan pinggiran perkotaan, suara para pemilih dibeli untuk memilih Mubarak. Dilaporkan juga bahwa ada ribuan suara ilegal yang masuk ke perolehan suara Mubarak yang berasal dari warga yang tidak terdaftar untuk memilih. Tanggal 8 September, atau sehari setelah pemilihan, Ayman Nour, kandidat dari partai El-Ghad, mempermasalahkan hasil pemilihan dan meminta pengulangan pemungutan suara.

Dalam sebuah ketidakadilan politik, Ayman Nour didakwa pemalsuan data dan dijatuhi hukuman lima tahun kerja paksa pada 24 September 2005. Pada hari Ayman Nour divonis, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang mencela tindakan pemerintah Mesir, sebagai berikut: “Amerika Serikat merasa terganggu dengan tindakan pengadilan negeri Mesir yang menjatuhi hukuman terhadap politikus Ayman Nour atas keyakinannya tersebut. keyakinan Dr.Nour, yang memperoleh peringkat kedua dalam pemilihan presiden Mesir tahun 2005, menjadi sebuah pertanyaan perihal komitmen Mesir terhadap demokrasi, kebebasan, dan peraturan hukum. Kami juga merasa terusik karena laporan kesehatannya yang menurun akibat kelaparan yang dialaminya, yang telah dimulai sejak persidangan dimulai. Amerika Serikat meminta pemerintah Mesir untuk bertindak menurut hukum negara tersebut dengan semangat untuk meningkatkan keterbukaan politik dan dialog dengan masyarakat Mesir, serta berdasar pada kemanusiaan, agar melepaskan Ayman Nour dari tahanan.” Dalam sebuah laporan yang dirilis Reporters Without Borders, media Mesir menempati urutan 133 dari 168 dalam hal kebebasan pers, memperlihatkan kenaikan 10 peringkat dari tahun 2005.

Sementara itu, korupsi politik yang terjadi di dalam Kementerian Dalam Negeri kabinet Mubarak semakin meningkat drastis, disebabkan upaya untuk meningkatkan sistem kelembagaan yang diperlukan untuk mengamankan kepresidenan Mubarak di masa mendatang. Kondisi ini menyebabkan penahanan aktivis-aktivis muda dan tokoh politik yang bertentangan tanpa adanya penyidikan lebih dulu, yang ilegal dan tanpa dokumen penahanan yang sah, ditahan di tempat yang tersembunyi, dan tidak membeda-bedakan baik itu anggota masjid, universitas, maupun staf surat kabar selain kecondongan politik. Sedangkan pada tingkat personil militer, mereka diperbolehkan untuk melakukan penangkapan bersyarat berdasarkan hukum darurat (emergency law).

Freedom House, sebuah organisasi non-pemerintah yang melakukan penelitian tentang demokrasi, pada tahun 2005 melaporkan bahwa pemerintah Mesir di bawah kendali Mubarak telah melakukan perluasan peraturan birokrasi dan pengendalian dalam hal lainnya untuk mempermudah jalannya korupsi. Dan setiap kali kendali diterapkan, uanglah yang selalu menjadi bagian yang relevana, untuk permintaan persetujuan atau penandatanganan sebuah pengajuan izin. Budaya birokrasi yang berjalan ini, mempengaruhi banyak sektor dan teraplikasi di dalamnya, seperti perbankan dan institusi finansial, pariwisata, minyak, terusan Suez, manufaktur, media, dan sebagainya. Selain itu, hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang memprihatinkan . Pegawai pemerintah tidak mendapatkan gaji yang semestinya, sementara angka kemiskinan semakin membengkak, dan menciptakan jarak antara golongan kaya dan miskin semakin melebar. Freedom House juga menyatakan, korupsi masih merupakan masalah yang signifikan dalam pemerintahan Mubarak, yang berjanji akan melakukan banyak perubahan, namun dalam kenyataannya tidak ada yang terselesaikan secara efektif.

Pada tahun 2010, Indeks Korupsi yang dirilis oleh Transparency Iternational memberikan nilai IHK 3,1 untuk Mesir, berdasarkan tingkat korupsi yang terjadi di antara pebisnis dan analis negara, dengan standar nilai penilaian 10 untuk paling bersih dan 0 untuk sangat korup. Mesir berada pada posisi 98 dari 178 negara yang masuk dalam laporan penilaian.

Mesir adalah sebuah negara dengan sistem Republik Semi-Presidensial berdasarkan UU Darurat (UU No.162 tahun 1958) dan telah berlangsung seperti itu sejak 1967, kecuali 18 bulan di tahun 1980 (yang berakhir dengan pembunuhan Anwar Sadat). Berdasarkan hukum, kewenangan polisi diperluas, hak konstitusional ditangguhkan, dan lembaga sensor disahkan. Hukum pun menjadi lawan bagi setiap kegiatan politik non-pemerintah; secara resmi melarang setiap demonstrasi di jalan-jalan, organisasi politik yang tidak mendapatkan pengesahan, dan sumbangan finansial yang tidak terdaftar. Sekitar 17.000 orang ditangkap di bawah hukum, dengan lebih dari 30.000 orang tahanan politik di seluruh kawasan Mesir. Di bawah “keadaan darurat” inilah, pemerintah memiliki hak untuk menahan seseorang dalam beberapa periode, dan dengan alasan yang tidak memadai dan dibuat-buat, demi menjaga  mereka untuk mendekam dalam penjara tanpa melewati proses peradilan. Pemerintah Mesir mengklaim, bahwa kelompok oposisi seperti Ikhwanul Muslimin bisa saja datang dengan kekuatan penuh apabila pemerintah saat ini tidak mengabaikan pemilihan parlemen, menyita harta para pemodal utama organisasi ilegal, dan menahan para pemimpinnya. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya hukum darurat dan sistem yudisial yang mencegah kemerdekaan penuh. Pendukung demokrasi di Mesir berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk hak warga negara untuk mendapat peradilan yang adil dan hak mereka untuk memilih siapa atau pihak mana yang mereka anggap layak untuk menjalankan pemerintahan.

Pada tahun 2009, Duta besar Amerika Serikat Margaret Scobey melaporkan perihal adanya ketidakpastian yang berkembang mengenai pergantian presiden Mesir. Ia menyatakan, “meskipun banyak terjadi beragam diskusi yang berkembang, namun tak seorang pun di Mesir yang mengetahui siapa yang nantinya akan menggantikan Mubarak, juga dalam kondisi yang seperti apa.” Ia mencantumkan beberapa kandidat, dan berkata “lawan yang paling memungkinkan adalah anak presiden sendiri, Gamal Mubarak (yang profilnya pernah mencuat di partai yang berkuasa, sampai keruntuhan partai tersebut pada Revolusi Mesir tahun 2011), beberapa mengatakan Kepala Intelijen Omar Suleiman, atau Sekjen Liga Arab Amre Moussa, sang kuda hitam. Figur Mubarak sebagai pemimpin yang kuat tampaknya akan tidak begitu terpengaruh oleh sosok Gamal Mubarak dalam beberapa hal, karena kurangnya pengetahuan Gamal dalam bidang militer, yang mungkin menjadi penjelas berlepas tangannya Mubarak dalam pendekatan perihal pergantian ini.” Presiden Mubarak dan anaknya menyangkal pernyataan tersebut, “mengatakan bahwa sistem multi kandidat dalam pemilihan umum yang diperkenalkan pada tahun 2005 telah membuat proses politik semakin transparan.” Jurnalis harian Nigerian Tribune, Abiodun Awolaja, menggambarkan kemungkinan pergantian yang akan dilakukan oleh Gamal Mubarak sebagai “monarki turun-temurun yang semu”. Duta Besar Scobey menyimpulkan visi Mubarak dalam suksesi presidensial, dengan menyatakan, “ia terlihat seperti orang yang percaya kepada Tuhan dan mengadakan pengamanan militer dan sipil di mana-mana untuk memastikan transisi berjalan tertib.” Partai Nasional Demokrasi Mesir tetap menjadikan Hosni Mubarak sebagai satu-satunya kandidat partai untuk pemilihan presiden tahun 2011. 1 Februari 2011, Mubarak mengumumkan bahwa ia tidak mempunyai keinginan untuk kembali ikut serta dalam pemilihan presiden yang akan berlangsung di akhir tahun 2011 nanti. Ketika deklarasi tersebut dinilai gagal untuk meredam aksi protes, wakil presiden Mubarak menyatakan bahwa Gamal Mubarak tidak akan menyalonkan diri sebagai kandidat presiden. Dengan meningkatnya demonstrasi dan jatuhnya Mubarak, seorang tokoh berpengaruh di Parta Nasional Demokrat Mesir, Hamdy El-Sayed, menyatakan bahwa Gamal Mubarak ditujukan untuk mengambil alih posisi ayahnya, dengan dibantu oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Habib El-Adly.

25 Januari 2011, gelombang demonstrasi yang menentang rezim Mubarak berlangsung di Kairo dan seluruh kawasan Mesir. Mubarak telah menyatakan tidak ikut dalam pemilihan presiden yang akan berlangsung bulan September itu. Pernyataan tersebut belum cukup memuaskan bagi para demonstran yang menginginkan Mubarak untuk turun secepatnya. Demonstrasi pun berlanjut. Dan pada tanggal 2 Februari 2011, bentrokan dan aksi kekerasan terjadi antara pendukung dan para penentang Mubarak. Mayoritas pendukung Mubarak melakukan pencurian dan berbagai aksi kotor lainnya untuk membuat seolah-olah bangsa telah terpecah dan tidak terkendali, sementara polisi berpakaian preman berkeliaran di mana-mana. Hal ini disadari oleh kementerian Inggris. Pada 10 Februari, bertentangan dengan rumor yang berkembang, Mubarak memutuskan untuk tidak mengundurkan diri sampai pemilihan presiden September nanti, meskipun ia akan menyerahkan tanggung jawab pemerintahan kepada wakilnya, Omar Suleiman. Hari berikutnya, Suleiman mengumumkan bahwa Mubarak telah mengundurkan diri. Pengumuman tersebut memicu perayaan besar-besaran, bendera yang berkibaran, dan kegembiraan dari para demonstran di seluruh wilayah Mesir. Beberapa jam sebelum pengumuman pengunduran dirinya, laporan yang muncul menunjukkan Mubarak dan keluarga kemudian pergi mengungsi menuju Sharm El-Sheikh. Setelah itu, Mubarak tidak tampil dalam liputan media apapun lagi, yang mengarah kepada spekulasi atas kondisi kesehatannya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa ia sedang dalam keadaan koma. Sementara sumber lain melaporkan bahwa ia masih berada di Mesir dan masih pula mengendalikan pemerintahan secara rahasia.

Februari 2011, laporan tentang kekayaan Mubarak dan keluarga diungkap oleh media. Kantor berita ABC, mengindikasi bahwa para ahli percaya bahwa kekayaan pribadi Mubarak dan keluarganya mencapai sekitar 40-70 triliun dolar yang ditemukan dalam kontrak militer yang ia dapat selama masa jabatannya sebagai petugas di Angkatan Udara. Sementara harian Inggris, Guardian, juga melaporkan Mubarak dan keluarganya memiliki lebih dari 70 triliun dolar yang didapatnya dari hasil korupsi, suap, dan legitimasi kegiatan bisnis. Uang mereka dikatakan tersebar baik dalam berbagai rekening di banyak bank maupun dalam bentuk investasi properti baik di dalam maupun di luar negeri, termasuk Swiss dan Inggris. Harian tersebut mengakui, bahwa beberapa informasi berkenaan kekayaan Mubarak dan keluarganya tersebut ada yang telah berusia sepuluh tahun lebih. Menurut Newsweek, dugaan tersebut sangatlah substantif dan kredibiltasnya diragukan. 17 Maret 2011, Senator John Kerry, Ketua Kongres Hubungan Luar Negeri, secara resmi menegaskan bahwa pemerintah Amerika Serikat telah membekukan aset milik Mubarak senilai 31 triliun dolar, termasuk didalamnya properti dan rekening bank.

12 Februari 2011, pemerintah Swiss mengumumkan telah membekukan rekening atas nama Mubarak dan keluarganya di Bank Swiss. Pada tanggal 20 Februari, Kejaksaan Agung Mesir memerintahkan pembekuan aset yang dimiliki Mubarak dan istrinya, Suzanne, aset anaknya Alaa dan Gamal Mubarak, dan aset menantunya Heidi Rasekh dan Khadiga Gamal. Kejaksaan Agung juga meminta Kementerian Luar Negeri untuk memberitahukan hal ini kepada negara-negara yang dicurigai menyimpan aset milik Mubarak dan keluarganya. Perintah ini muncul dua hari setelah surat kabar di Mesir melaporkan bahwa Mubarak mengajukan laporan finansialnya. Pemerintah Mesir mengeluarkan mandat untuk menyerahkan laporan keuangan yang mencantumkan aset dan sumber keuangan mereka selama masa kerjanya di pemerintahan. Tanggal 21 Februari, Dewan Militer Mesir, yang mendapatkan wewenang kepresidenan setelah Revolusi 25 Januari 2011 lalu, menyatakan ketidakberatannya atas persidangan yang akan dilakukan kepada Mubarak atas tuduhan korupsi. Tanggal 23 Februari 2011, surat kabar Mesir Eldostor melaporkan bahwa sebuah “sumber” menggambarkan perintah Jaksa Agung untuk membekukan aset Mubarak dan ancaman tindakan hukum hanya merupakan sebuah sinyal bagi Mubarak untuk meninggalkan Mesir setelah sejumlah upaya dilakukan untuk mendorongnya meninggalkan Mesir secara sukarela. Sementara Voice of America pada bulan Februari melaporkan bahwa seorang Jaksa Agung Mesir telah memerintahkan larangan bagi Mantan Presiden Hosni Mubarak dan keluarganya untuk bepergian dan pembekuan aset mereka, sampai adanya tindakan lebih lanjut.

Mengenai kesehatan Mubarak, pada musim panas 2010, media berspekulasi bahwa “Mesir sedang berada di titik puncak perubahan yang dramatis”, karena Mubarak saat itu diduga mengidap kanker, dan disebabkan juga oleh pemilihan presiden yang akan berlangsung September 2011. Sebuah sumber intelijen menyatakan bahwa ia menderita kanker esofagus, kanker perut, atau kanker pankreas, yang kemudian dihiraukan oleh pemerintah Mesir. Spekulasi tentang kesehatannya makin berkembang saat pengunduran dirinya pada tanggal 11 Februari 2011. Berdasarkan laporan media Mesir, kesehatan Mubarak makin memburuk setelah pengasingannya di Sharm El-Sheikh. Mubarak dilaporkan mengalami depresi, menolak untuk ditangani secara medis, dan berulangkali tidak sadarkan diri. Seorang petugas keamanan Mesir yang tidak disebutkan namanya mengatakan, “Mubarak ingin tinggal sendiri dan mati di kampung halamannya.” Sumber ini juga membantah kabar yang mengatakan bahwa Mubarak menulis sebuah memoar, dan menyatakan bahwa ia sedang dalam kondisi yang sepenuhnya tidak sadarkan diri. Setelah pengunduran diri Mubarak pada bulan Februari 2011, Duta Besar Mesir untuk Amerika Serikat, Sameh Shoukry mengatakan bahwa seorang narasumbernya mengatakan bahwa Mubarak “sedang berada dalam kondisi kesehatan yang buruk”, sementara beberapa surat kabar yang ada di Mesir dan Arab Saudi memberitakan bahwa Mubarak dalam keadaan koma dan sekarat.

Begitulah revolusi, selalu datang untuk mengawali sebuah perubahan. Pada waktu tulisan ini dibuat, revolusi sedang merayap memasuki tanah Libya, Yaman, dan Bahrain. Dan tidak mustahil, akan menjalar ke tanah-tanah bangsa dan negeri lainnya. Di Libya, Muammar Al-Qaddafi, sedang menghadapi serangan invasi militer barat yang menginginkan ia turun dari tahtanya. Kurang dari dua minggu sebelum serangan, Qaddafi dalam sebuah wawancara dengan media barat mengatakan bahwa mereka yang sedang mengadakan perlawanan dan menghendaki pengunduran dirinya sebagai Al Qaeda, dan bukan warga negaranya sendiri. Namun, Obama telah mengeluarkan keputusan. Ia akan mengirimkan kekuatan militernya untuk mendesak mundur Qaddafi dari Libya. Di Libya, pemberontakan kontra Qaddafi terjadi disebabkan oleh rakyat yang merasa kesenjangan dan ketidakadilan pemerintahan Qaddafi. Namun, mereka bukanlah mayoritas dari seluruh rakyat Libya sendiri. Suara mereka tidak mewakili Libya secara umum.

Semoga, apa yang sedang terjadi dan terus bergulir di tahun 2011 ini, adalah awal dari sebuah kebaikan, dan akhir dari sebuah keburukan. Perjuangan tidak akan pernah berhenti, sampai cahaya yang terang menelan kegelapan. Dan 2011 tidak akan berakhir begitu saja, karena agendanya telah demikian jelas: Revolusi. Dan resolusi yang tergambar jelas di tahun ini, telah menumbangkan dua rezim yang menginjak-injak rakyatnya, melakukan penindasan, dan kesewenang-wenangan. Ben Ali yang dilucuti rakyatnya sendiri, kemudian Mubarak yang turun dari tahtanya karena rakyat Mesir yang berpadu menjadi satu kekuatan dan mengesampingkan identitas agama dan ras, merupakan sebuah bukti nyata akan sebuah revolusi yang tidak akan pernah berhenti sebelum tujuannya terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar